Minggu, 13 November 2011

Prasangka dan Diskriminasi


Prasangka dan Diskriminasi
  1. Apakah prasangka itu?
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional . John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori :
  • Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
  • Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
  • Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
  1. Diskriminasi
iskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
3.      Kaitan prasangka dengan diskriminasi
4.      Prasangka merupakan faktor yang potensial menciptakan konflik antar etnik. Prasangka bahkan terbukti telah melahirkan konflik antar etnik yang paling merusak. Atas alasan demikian, prasangka dapat dikategorikan sebagai ancaman besar-berbahaya bagi terbentuknya suatu masyarakat multietnik yang sehat. Dalam rangka membentuk masyarakat plural (multietnik) yang sehat dan damai, rendahnya prasangka adalah prasyarat penting. Oleh karena itu upaya-upaya mengurangi prasangka di masyarakat sangatlah penting dan mendesak.

Upaya mengurangi prasangka bisa dilakukan dalam banyak cara. Beberapa upaya yang bisa dilakukan diantaranya melalui rekayasa dalam hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi. Kita tahu, prasangka dipengaruhi juga oleh sejarah, politik, ekonomi, dan struktur sosial (Brown, 1995), karenanya diperlukan pula adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

Prasangka muncul dalam kondisi rendahnya pemahaman lintas budaya di masyarakat. Sementara itu, pemahaman lintas budaya adalah sendi dari sebuah masyarakat multietnik yang sehat, dimana setiap orang sadar akan perbedaan dan menghargai perbedaan itu. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan dan sadar akan adanya perbedaan budaya, serta mampu menerima adanya perbedaan itu melalui kemampuan melihat fenomena dunia melalui sudut pandang budaya yang lain. Pada hakekatnya mengurangi prasangka sama artinya dengan menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan upaya-upaya mengurangi prasangka lainnya, bisa dilakukan di segenap aspek kehidupan, dimulai dari keluarga, lingkungan pertetanggaan, sekolah, organisasi, dan masyarakat secara lebih luas.

A. Upaya Mengurangi Prasangka

Berikut adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam mengurangi prasangka, yakni melalui hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi.

1. Melalui Hubungan Antar Kelompok

Menurut salah satu teori hubungan antar kelompok yakni ‘the contact hypothesis’, diasumsikan bahwa anggota kelompok yang berbeda bila melakukan interaksi satu sama lain akan mengurangi banyak prasangka antara mereka, dan menghasilkan sikap antar kelompok dan stereotip yang lebih positif (Manstead & Hewstone, 1995). Semakin banyak dan erat interaksi yang terjadi maka prasangka dan stereotip negatif akan semakin berkurang.

Dalam buku ‘Prejudice: It’s Social Psychology’, Brown (1995) menyebutkan bahwa interaksi yang membuat suatu hubungan bisa mengurangi prasangka setidaknya memenuhi empat prasyarat berikut :

 Dukungan sosial dan dukungan institusional.§

Adanya kerangka sosial dan dukungan institusional yang bisa mendorong kontak lebih erat antara etnik yang berlainan. Dukungan institusional ini diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang, dalam hal ini bisa pemerintah, sekolah, pemimpin organisasi, orangtua, dan lain-lain. Ada tiga alasan mengapa hal ini penting ;

1. Otoritas biasanya berada dalam posisi bisa memberi sanksi (dan rewards) untuk tindakan berparasangka.
2. Ada peraturan yang tegas tentang anti-diskriminasi, yang akan memaksa orang untuk berperilaku dalam perilaku yang tidak berprasangka. Hal mana diharapkan akan membuat seseorang menginternalisasi perilaku tidak berprasangka itu sebagai sikap mereka
3. Menciptakan lingkungan sosial yang penuh toleransi dimana nilai-nilai toleransi bisa dikembangkan.


 Ada potensi untuk saling mengenal§

“Orang Cina itu pelit, sombong, nggak mau bergaul, seringkali licik” ujar Vivi, seorang etnis Jawa berkomentar tentang etnik Cina “Kecuali Dewi dan Diana, mereka baik, tidak seperti orang Cina lainnya” tambahnya melanjutkan. Dewi dan Diana adalah dua orang teman dekat Vivi yang beretnis Cina.

Apa yang dikatakan Vivi merupakan tipikal yang umumnya dilakukan oleh orang-orang. Mereka memiliki stereotip negatif terhadap etnis lain tetapi menolak bila orang yang dikenalnya secara akrab, yang kebetulan berasal dari etnis bersangkutan memiliki stereotip-stereotip itu. Cerita itu menggambarkan bahwa stereotip negatif dan prasangka tumbuh karena ketiadaan pergaulan yang erat dan akrab antar pribadi diantara etnis yang berbeda.

Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok etnik yang berlainan bisa mengurangi prasangka secara signifikan. Hubungan itu mesti dalam waktu yang cukup, dengan frekuensi yang tinggi, dan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antara anggota kelompok etnik yang berkaitan. Apabila hubungan antar anggota kelompok etnik tidak memungkinkan terjalinnya hubungan akrab maka kurang bisa mengurangi prasangka antar etnik.

Ada tiga alasan mengapa potensi untuk saling mengenal penting guna mengurangi prasangka:

1. Membangun hubungan interpersonal yang fair dan dekat menimbulkan pikiran untuk menghargai orang lain secara positif, dan diharapkan digeneralisasikan ke keseluruhan kelompok.
2. Akan memungkinkan menerima info baru yang lebih akurat tentang kelompok lain yang menjadikan orang sadar bahwa kenyataannya ada banyak kesamaan antara kelompok yang bebeda. Menurut hipotesis similarity-attraction, kesamaan-kesamaan yang dipersepsi seseorang dengan orang lain dari kelompok lain akan meningkatkan kesukaan pada kelompok tersebut.
3. Seseorang akan menemukan bahwa stereotip negatif kelompok lain tidak benar. Hal mana akan mengubah pandangan seseorang terhadap kelompok lain.


 Status yang setara antara pihak-pihak yang berinteraksi§

Dalam masyarakat, organisasi, sekolah, atau yang lain, harus ada status yang setara antara pihak-pihak yang berprasangka sebelum terjadi interaksi. Jika satu kelompok etnik lebih dominan dibanding kelompok etnik lain, maka interaksi antar kelompok etnik belum tentu dapat mengurangi prasangka. Hal ini karena sudah ada presdiposisi sebelumnya bahwa kelompok etnik yang satu lebih tinggi dibandingkan kelompok etnik yang lain. Misalnya bila satu kelompok etnik selalu berada dalam posisi berkuasa dan selalu menjadi bos, sedangkan yang lain yang dikuasai maka hubungan antar kelompok kurang bisa mengurangi prasangka.

 Kerjasama§

Sebuah interaksi akan mengurangi prasangka jika interaksi yang terjadi berbentuk kerjasama bukannya konflik. Dalam kerjasama itu, juga harus terjadi ketergantungan. Mendasarkan pada teori realistic-group conflict theory, harus ada alasan instrumental untuk bekerjasama dan membangun persahabatan. Tujuan bersama biasanya harus konkret, skala kecil, dan bisa dilakukan bersama-sama. Contohnya pada saat banjir,semua orang bekerja sama untuk menanggulangi. Interaksi semacam ini bisa mengurangi prasangka.

Secara ringkas Cook dalam Brewer dan Miller (1996) menunjukkan enam syarat agar suatu kontak atau interaksi antar anggota kelompok etnik bisa mengurangi prasangka, yaitu:

1. Kelompok yang berinteraksi harus memiliki status sosial ekonomi yang setara.
2. Interaksi harus berbentuk kerjasama dan interdependensi.
3. Interaksi harus informal sehingga bisa mengenal secara pribadi.
4. Interaksi harus terjadi dalam situasi dimana norma-norma yang berlaku mendukung kesamaan kelompok.
5. Kelompok harus berinteraksi dalam suatu cara tertentu yang memungkinkan untuk membuktikan bahwa kepercayaan negatif (prasangka dan stereotip) terhadap kelompok lain adalah tidak benar.
6. Individu harus memandang satu sama lain sebagai tipikal dari kelompok masing-masing sehingga bisa menggeneralisasikan hal positif dari interaksi.

2. Melalui Sosialisasi

Upaya sosialisasi nilai-nilai egalitarian dan tidak berprasangka bisa dilakukan di rumah atau keluarga, di sekolah maupun dimasyarakat. Keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai yang mendorong anak-anak tidak berprasangka. Hanya memang, keluarga tidak menjadi satu-satunya faktor yang dominan. Bisa jadi keluarga yang telah mendorong sikap berprasangka tetap tidak berhasil membuat anak tidak berprasangka karena sekolah atau teman-teman sebayanya tidak mendukung upaya itu. Demikian juga sebaliknya, upaya sekolah untuk mengurangi prasangka mungkin tidak akan berhasil jika di rumah situasi keluarga tidak mendukung.

Sebuah keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam memberikan dasar-dasar bagi tumbuhnya kesadaran akan pluralitas. Ketika suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka. Sebagai misal, meskipun anak-anak etnis jawa tidak pernah bertemu dengan etnis Batak, tetapi bila sang orangtua terus menerus mengatakan pada anak-anak secara negatif tentang etnik Batak maka anak-anak juga akan mengembangkan perasaan negatif pada etnik Batak.

Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis jawa dengan kata-kata “dasar jawa”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik jawa secara keseluruhan.

Ada beberapa cara yang mungkin berguna dalam upaya mendidik anak-anak dalam keluarga agar memiliki pemahaman lintas budaya yang tinggi, yang pada gilirannya akan mengurangi prasangka, yaitu :

1. Berkata tidak pada komentar yang merendahkan etnis tertentu (Breitman & Hatch, 2001). Orangtua harus tegas menyatakan sikap tidak senang, kalau perlu disertai hukuman secara konsisten atas kata-kata rasis-diskriminatif-etnosentris yang diucapkan anak-anak. misalnya menegur anak-anak yang berkata-kata mengumpat teman lainnya dengan kata-kata menghina berdasarkan etnik, seperti “dasar orang sunda”,”dasar orang madura”, dan lain-lain.
2. Di rumah disediakan bacaan yang berpotensi menumbuhkan kesadaran akan pluralitas, misalnya dongeng-dongeng dari berbagai etnik dari seluruh nusantara.
3. Lebih mendorong dengan pujian jika anak berhasil menjalin hubungan perkawanan dengan anak dari etnik lain.
4. Tidak mentoleransi adanya perlakuan diskriminatif oleh anak-anak pada teman-temannya hanya karena didasarkan pada latar belakang etniknya.

Sekarang ini sekolah telah menjadi agen utama bagi sosialisasi nilai-nilai. Sekolah yang buruk bisa menumbuhkan prasangka dan sebaliknya melaui metode yang tepat sekolah juga merupakan sarana yang efektif dalam mengurangi prasangka. Brown (1995) memberikan dua saran untuk mengurangi prasangka melalui manajemen kelas belajar yang baik, yakni

1. Adanya perlakuan yang adil terhadap murid. Semua murid dari semua latar belakang etnik diperlakukan sama dan fair.
2. Kerjasama dalam kelompok belajar dibawah kondisi-kondisi tertentu, yakni: a) Belajar dalam satu kelompok yang saling tergantung satu sama lain, b) Aktivitas belajar bersama mereka mengharuskan mereka sering berinteraksi, c) Adanya status yang sama diantara seluruh anggota kelompok dan semua ikut berkontribusi dalam pencapaian tujuan kelompok, d) Belajar bersama dikelola dan diperintahkan oleh guru, sehingga pelajar merasa mendapat dukungan institusional.

Selain melalui manajemen kelas, hal yang tak kalah penting dalam mengurangi prasangka adalah kurikulum yang menunjang dan guru yang benar-benar memahami dan sadar akan perbedaan budaya, karena apa perkataan guru, dan cara guru mengajar sangat mempengaruhi kognitif dan afektif murid. Kurikulum pendidikan di Indonesia yang sentralistis telah mengabaikan keberagaman yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia dan berakibat siswa tercerabut dari praktek budaya dan kebutuhan riil ditempat tinggalnya (Jayadi, 2000). Padahal, loyalitas ingroup seseorang berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (Phinney, Ferguson, & Tate dalam Steinberg, 2002). Seseorang yang tercerabut dari akar budayanya justru biasanya malah bersikap negatif (juga berprasangka) terhadap kelompok lain.

Senada dengan Brown, Santrock (1999) mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan hubungan antara pelajar yang berbeda etnik, namun berbasis pada kurikulum, yaitu:

1. Memanajemen kelas dengan mengubah-ngubah pasangan kelompok tugas secara acak sehingga memungkinkan setiap murid bisa saling berinteraksi dengan semua murid dari etnis berbeda.
2. Mendorong pelajar untuk memiliki perpectives taking (kemampuan untuk memahami dan mengerti perspektif orang lain dan mengerti pikiran dan perasaannya).
3. Membantu pelajar untuk berpikir kritis dan memiliki kecerdasan emosional ketika menghadapi masalah-masalah kultural. Pelajar yang berpikir kritis dan mendalam mengenai hubungan antar etnik mungkin bisa mengurangi prasangka mereka. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional mampu mengerti sebab-sebab perasaan seseorang, mengelola kemarahan, mendengarkan apa yang dikatakan orang, memiliki motivasi untuk berbagi dan bekerja sama.
4. Mengurangi bias melalui pelajaran yang mendorong pemahaman lintas budaya.
5. Membentuk sekolah dan komunitas sebagai sebuah tim untuk mendukung pendidikan.
6. Menjadi mediator budaya yang kompeten.

Dunia pendidikan dalam masyarakat multietnik seperti Indonesia sudah semestinya menerapkan pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996). Penghayatan variasi etnik perlu dikenalkan sejak dini. Sayangnya seperti yang dikemukakan Jayadi, pendidikan kita kurang menfasilitasi pendidikan multikultur. Salah satu bentuk pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya adalah pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia. Dimensi-dimensi dalam ethnoscience adalah: 1) keterpaduan isi, yakni materi yang diajarkan merupakan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar, dan dikaitkan dengan pengajaran budaya 2) pembentukan pengetahuan, dan 3) pereduksian prasangka buruk (Lara-Alecio dkk., 2001).

Suyata (2002) dalam artikelnya yang berjudul ‘Pendidikan Multikultural’ menawarkan sebuah kerangka kerja pengembangan pendidikan multikultural dalam dimensi struktural sosial. Kerangka yang ditawarkan merupakan kerangka pendidikan multikultural yang bisa mendorong terjadinya perubahan struktur sosial. Diharapkan kerangka itu bisa menjadi patokan bagi setiap upaya pengembangan pendidikan multikultural yang jelas sangat penting artinya bagi masyarakat plural seperti indonesia. Kerangka kerja yang ditawarkan Suyata, yaitu:

1. Pengajaran terhadap mereka yang berbeda secara kultural dan eksepsional dengan titik berat pada pemberian kompensasi agar terjadi perubahan secara kultural.
2. Pentingnya hubungan-hubungan manusia, fokusnya adalah mendorong para siswa memiliki perasaan positif, mengurangi stereotip, mengembangkan konsep diri, toleransi dan menerima orang lain.
3. Aneka studi satu kelompok budaya sebagai upaya mendorong persamaan struktural sosial, dan advokasi pengakuan suatu kelompok etnik-kultural sebagai suatu yang berbeda.
4. Pendidikan multikultural sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok.
5. Pendidikan multikultural sekaligus rekontruksi sosial, plus menyiapkan setiap warga agar aktif mengusahakan persamaan struktur sosial.

Salah satu media sosialisasi nilai-nilai toleransi adalah media massa, baik berupa TV, radio, media cetak seperti buku, majalah, koran, buletin, internet dan lainnya. Sayangnya media kurang menfasilitasi pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan (Abrar, 2002). TV misalnya, memiliki potensi terbesar untuk mentransmisikan suatu keyakinan dari kelompok ke orang atau ke kelompok lain (Dewi, 2002), akan tetapi, acapkali materi siaran TV malah semakin meneguhkan prasangka. Misalnya stereotip orang jawa yang suka hutang dikuatkan dalam cerita Si Doel melalui tokoh Karyo, halmana bisa mengakibatkan prasangka pada orang jawa bila berbaik-baik pada orang lain, dikira mau berhutang. Tampaknya perlu kehati-hatian pihak media dalam setiap tayangannya agar tidak terjadi hal semacam itu. Sebab media yang baik adalah media yang mampu berperan dalam membentuk masyarakat yang sehat dan sejahtera. Dan dalam menjalankan fungsi yang demikian itu, media harus jeli terhadap kemungkinan prasangka dan diskriminasi.


3. Melalui Rekayasa Sosial

Prasangka etnik tidak hanya disebabkan oleh faktor psikologis semata, ia juga disebabkan oleh faktor sejarah, ekonomi, politik, budaya, dan struktur sosial (Brown, 1995). Karenanya diperlukan adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

Dalam bidang sejarah perlu adanya pelurusan pencatatan sejarah, terutama yang terkait dengan hubungan etnis Cina dengan etnis lain. Selama ini prasangka terhadap etnis Cina salah satunya ditumbuhkan melalui cerita-cerita yang menganggap mereka tidak nasionalis karena menjadi ‘antek’ kolonial Belanda. Padahal jumlah perlawanan etnis Cina terhadap penjajah cukup besar, akan tetapi hal itu tidak pernah dimunculkan.

Isu-isu hubungan antar etnik diantaranya kebijakan terhadap kelompok minoritas, kebijakan imigrasi, dan hak-hak sipil perlu mendapat perhatian. Salah satu kebijakan politik yang masih mengganjal dalam hubungan antar etnik di Indonesia, dan berpotensi untuk tetap melestarikan prasangka adalah kebijakan agar setiap etnis Cina memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), meskipun seseorang itu merupakan generasi kelima di Indonesia. Umumnya etnik cina sendiri tidak puas dengan bentuk-bentuk pembedaan yang akan menghambat mereka melakukan identifikasi terhadap indonesia. SKBRI ini dirasakan sebagai hambatan terbesar (Suhendy, 1997). Alangkah baiknya jika persyaratan SBKRI dihapuskan, yang berarti ‘penerimaan’ negara secara politis terhadap etnis Cina.

Tidak dapat dipungkiri, pemberlakuan desentralisasi politik menguatkan semangat kedaerahan, dan etnosentrisme. Keadaan ini dapat menimbulkan dan memperkuat prasangka etnik. Toety Heraty menyatakan bahwa semangat penonjolan identitas etnik dalam era desentralisasi politik pasca orde baru perlu diberi ruang partisipasi dalam tatanan kebijakan publik (Kompas, 17 Februari 2003). Salah satu bentuk partisipasi itu adalah mempersilahkan kelompok etnik tertentu untuk mewujudkan keberadaannya melalui pembentukan partai politik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar