Minggu, 13 November 2011

Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).

Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.

Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.

statifikasi sosial menurut max weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Dalam islam, semua yang namanya manusia adalah sama. Yang pernah lahir, pasti merasakan mati. Tidak ada satu-pun yang memiliki posisi lebih tinggi dari yang lainnya.
Kalau kita melihat aturan di atas, maka persamaan derajat dalam islam adalah yang paling adil. Semua dipandang sama. Tak ada yang berbeda. Apakah dia orang Eropa, Asia, Amerika, atau Africa.Semua hanya boleh bertindak sesuai posisinya sebagai manusia. Ketentuan inilah yang menyebabkan perjuangan kemerdekaan indonesia selalu dimotori oleh orang-orang alim ( ulama ). Ketentuan ini pulalah yang menyebabkan muncul usulan dari Dr. Snouck Hurgronje untuk mengatasi masalah Aceh. Sedangkan untuk kawasan dunia international, di saat ketentuan ini mulai melemah, maka saat itu mulailah dunia memasuki era imperialisme. Mulai dibentuklah suatu kondisi yang mengacu pada suatu arah : bangsa kulit putih, lebih baik dari bangsa lain.

Saat itu, semua lupa bahwa semua manusia adalah sama.
Bahkan untuk seorang nabi-pun, dia harus bekerja untuk kehidupannya sendiri.

Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan

B. Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)

a. Pengertian desa/pedesaan

Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.

Sedang menurut Paul H. Landis :Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut :

a) mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c) Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.

Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.

Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan.

Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik.

Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun.

Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.

Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep :”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan,
tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.

b. Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)

Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut :

a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

Masyarakat Perkotaan

a. Pengertian Kota

Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini.

i. Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.

ii. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.

iii. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih.
Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.

Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri :

a). Netral Afektif
Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
b). Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
c). Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.
d). Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
e). Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.

b. Ciri-ciri masyarakat Perkotaan

Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :

i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

D. Perbedaan antara desa dan kota

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan.

Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja .

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.

Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.

Ciri ciri tersebut antara lain :

1) jumlah dan kepadatan penduduk
2) lingkungan hidup
3) mata pencaharian
4) corak kehidupan sosial
5) stratifiksi sosial
6) mobilitas sosial
7) pola interaksi sosial
8) solidaritas sosial
9) kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemiskinan

Ilmu Pengetahuan dianggap enting karena Ilmu Pengetahuan merupakan dasar pemikiran seseorang. Tentunya apabila seseorang memiliki Ilmu pengetahuan yang tinggi maka dasar pemikiran orang itu pun semakin tinggi, sehingga dalam bermasyarakat selalu memikirkan sebab dan akibat yang akan terjadi, tentunya orang seperti ini akan bertindak secara hati-hati agar tidak dirugikan. Selain itu pula seseorang yang memiliki Ilmu pengetahuan yang tinggi akan melihat sebuah masalah sebagai sebuah objek walaupun masalah itu bukan objek empiris, sehingga penalaran terhadap masalah dalam masyarakat akan lebih baik dibandingkan dengan orang berpengatahuan rendah.

Selain Ilmu Pengetahuan, Teknologi yang semakin berkembang mempengaruhi sosial masyarakat. Perkembangan Teknologi yang semakin maju membuat semua kegiatan menjadi mudah, bahkan tanpa harus berpindah tempat. Hal ini tentunya berdampak pada sosialisasi pada masyarakat, orang-orang yang sudah dimanjakan oleh teknologi membuat individu tidak lagi memikirkan masyarakat yang ada disekitar. Mereka akan lebih peduli terhadap kepentingannya sendiri dan tidak memikirkan dampak negatif yang akan terjadi, sehingga dampak negatifnya akan terasa pada orang lain yang ada disekitarnya.

Dari kedua hal tersebut tentunya akan mempengaruhi kondisi kehidupan, yaitu ketumpang tindihan dalam masyarakat, dalam artian bahwa adanya ketidak selarasan dalam masyarakat dimana orang kaya tambah kaya sedangkan yang miskin tambah melarat.

Kemiskinan merupakan dampak besar dari pengaruh Ilmu pengetahuan dan Teknologi, mengapa demikian?

Kita bisa membandingkan antara orang kaya dengan miskin. Orang-orang kaya biasanya memiliki ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang miskin, karena orang kaya menjadikan pengetahuan sebagai kebutuhan yang pertama sedangkan orang miskin tidak demikian, sehingga orang kaya jauh bertindak lebih baik saat bersosialisasi baik dalam lingkungannya ataupun dalam dunia kerja dan juga orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan pastinya dalam hidupnya penuh perhitungan dan tidak mengandalkan keberuntungan berbeda dengan orang miskin. Orang pada tingkatan miskin ini bertindak kadang tanpa perhitungan dan juga sangat mengandalkan keberuntungan dalam bertindak karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai dengan tingkatan yang lebih tinggi dalam sosialisasi sehingga mereka hanya dapat pasrah, yang diartikan bahwa mereka berusaha namun hasilnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.


Selain ilmu pengetahuan, teknologi pula mempengaruhi kemiskinan.
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

    penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
    penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
    penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
    penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
    penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan. Pengaruh teknologi ini terjadi karena orang-orang yang memiliki teknologi yang tinggi akan mengenyampingkan orang yang tidak memiliki teknologi yang tinggi. Contohnya dalam masyarakat, sebuah pabrik sebelumnya menjadi parik padat karya namun seiring kemajuan teknologi pabrik tersebut membeli teknologi sehingga orang-orang yang bekerja sebelumnya akan digantikan oleh teknologi yang baru, dan untuk orang-orang yang bekerja tersebut akan diberhentikan. Tentunya hal ini akan berdampak dengan naiknya pengangguran. Pengangguran merupakan awal dari kemiskinan. Sehingga teknologi sangat mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.


Dari kedua Hal tersebut dapat kita lihat Pengaruh Ilmu Pengatahuan dan Teknologi terhadap kemiskinan, sehingga Ilmu pengetahuan dan Teknologi merupakan dua hal yang harus kita miliki, karena kedua hal ini lah yang akan menunjang kita baik dalam sosial maupun ekonomi.

Agama dan Masyarakat

I. Definisi Agama

Dengan singkat definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama–agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.

Sedangkan menurut pendapat Hendro puspito, agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:

1.      Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual

2.      Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri

3.      Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural

II. Ruang Lingkup Agama

Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :

a.       Hubungan manusia dengan tuhannya

Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.

b.      Hubungan manusia dengan manusia

Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.

c.       Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.

Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.

III. Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat

Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :

a.       Fungsi edukatif.

Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

b.      Fungsi penyelamatan.

Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.

c.       Fungsi pengawasan sosial (social control)

Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :

    Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
    Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.

d.      Fungsi memupuk Persaudaraan.

Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.

    Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
    Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
    Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama

e.       Fungsi transformatif.

Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.

Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:

1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.

2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara

Ibadat.

3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.

4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.

5.      Pemberi identitas diri.

6.      Pendewasaan agama.

Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi   intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu   adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.

Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.

IV. Pengaruh Agama Terhadap Kehidupan Manusia

Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan diatas, jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian manusia kepada masalah yang penting yang selalu menggoda manusia yaitu masalah “arti dan makna”. Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif tentang perkara-perkara seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama menunjukan kepada manusia jalan dan arah kemana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawaban tersebut hanya dapat diperoleh  jika manusia beserta masyarakatnya mau menerima suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari segala kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan harus diterima sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.

Para ahli kebuadayaan yang telah mengadakan pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan, bahwa agama merupakan unsur inti yang paling mendasar dari kebudayaan manusia, baik ditinjau dari segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi dalam dua kategori : kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmani). Contoh perubahan yang disebabkan kekuatan lahir ialah perkembangan teknologi yang dibuat oleh manusia. Sedangkan contoh perubahan yang disebabkan oleh kekuatan batin adalah demokrasi, reformasi, dan agama. Dari analisis komparatif ternyata bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dari semua kebudayaan, agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor, tetapi juga sebagai alat penentang yang gigih sesuai dengan kedudukan agama.

Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat, pengaruh yang bersifat integratif. Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Fungsi Disintegratif Agama adalah, meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

Warga Negara dan Negara


Warga Negara dan Negara

1 Warga Negara

1.1 Pengertian warga Negara
Warga negara diartikan sebagai orang-orang yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagaiorang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara karena warga negara mengandung arti peserta, anggota, atau warga dari suatu negara, yakni peserta darisuatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.

1.2 Hak dan kewajiban warga Negara
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
  2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
  3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
  4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
  5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
  6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
  7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
  2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
  3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
  4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
  5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.
2. Negara
2.1 Pengertian Negara
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
2.2 Unsur Negara
Sebagai sebuah organisasi, negara memiliki unsur-unsur yang tidak dimiliki oleh organisasi apapun yang ada di dalam masyarakat. Secara umum, unsur negara ada yang bersifat konstitutif dan ada pula yang bersifat deklaratif. Unsur konstitutif maksudnya unsur yang mutlak atau harus ada di dalam suatu negara. Sedangkan unsur deklaratif hanya menerangkan adanya negara.
Adapun unsur-unsur negara yang bersifat konstitutif adalah harus ada rakyat, wilayah tertentu, dan pemertintahan yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut bersifat konstitutif karena merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya negara. Apabila salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak lengkap, maka tidak bisa disebut sebagai negara.
Di samping itu, terdapat pula unsur deklaratif, yakni harus ada pengakuan dari negara lain. Unsur deklaratif ini sangatlah penting karena pengakuan dari negara lain merupakan sebagai wujud kepercayaan negara lain untuk mengadakan hubungan, baik hubungan bilateral maupun multilateral.

3. Hubungan warga Negara dengan Negara
Negara sebagai suatu identitas yang abstrak atau yang tidak dapat dilihat tapi, dapat dirasakan. Yang tampak adalah unsur – unsur negara yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Salah satu unsur Negara adalah “rakyat”. Rakyat yang tinggal di suatu wilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan yang disebut dengan warga negara. Dengan demikian Warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara. dalam hubungan antar warga negara dengan negara, warga negara mempunyai kewajiban – kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negarajuga mempunyai hak – hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.
Pemahaman yang baik mengenai hubungan antara warga negara dengan negara sangat penting untuk mengembangkan hubungan yang harmonis, konstruktif, produktif dan demokratis. Pada akhirnya pola hubungan yang baik antara warga negara dapat mendukung kelangsungan hidup bernegara.
Oleh karena itu, warga negara adalah sesuatu yang sangat penting yang ada pada suatu negara. jika tidak adanya warga negara maka negara tersebut tidak dapat berdiri dan juga tidak dapat berkembang. Kami sebagai penulis akan membahas bagaimana kedudukan warga negara di dalam suatu negara. yang akan kami bahas di dalam makalah ini adalah Penentuan Warga negara, Warga Negara Indonesia, Undang – Undang yang mengatur tentang Warga negara.


Tinjauan Ilmu Sosial Dasar


Ilmu social dasar pastilah erat kaitannya dengan manusia, karena tidak mungkin jika kita membahas tentang ilmu social dasar dan kita melibatkan hewan atau tumbuhan didalamnya. Oleh karena itu, saya ingin berbicara tentang manusia terlebih dahulu. Manusia dalam status sosialnya terbagi menjadi dua, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk social.
1. Manusia Sebagai Makhluk Individu
Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi, atau satu kesatuan. Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium yang berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan tak terbatas.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individi ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotip dan genotip. Faktor genotip adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Ligkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana eorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar.
Karakteristik yang khas dari seeorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan genotip)dan faktor lingkungan (fenotip) yang saling berinteraksi terus-menerus.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seeorang.
  1. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karrena beberapa alasan, yaitu:
a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku manusia mengaharapkan suatu penilain dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
B. Interaksi Sosial dan Sosialisasi
1. Interaksi Sosial
Kata interaksi berasal dari kata inter dan action. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat.
Interaksi adalah proses di mana orang-oarang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dala pikiran danb tindakana. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain.
Interaksi sosial antar individu terjadi manakala dua orang bertemu, interaksi dimulai: pada saat itu mereka saling menegeur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial.
Interaksi sosial terjadi dengan didasari oleh faktor-faktor sebagai berikut
  1. Imitasi adalah suatu proses peniruan atau meniru.
  2. Sugesti adalah suatu poroses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau peduman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa dkritik terlebih dahulu. Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang dari dirinya sendiri maupuhn dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya, dengan interaksi sosial adalaha hampir sama. Bedanya ialah bahwa imitasi orang yang satu mengikuti salah satu dirinya, sedangkan pada sugesti seeorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya, lalu diterima oleh orang lain di luarnya.
  3. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identi (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah.
  4. Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilain perasaan seperti juga pada proses identifikasi.
ILMU SOSIAL DASAR SEBAGAI KOMPONEN MATA KULIAH DASAR UMUM
Menghadapi masalah-masalah dalam penyelenggaraan tridarma perguruan tinggi, demikian pula untuk memenuhi tutuntutan masyarakat dan negara , maka diselenggarakan program-program pendidikan umum. Tujuan pendidikan umum di perguruan tinggi adalah :


1. sebagai usaha membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu berperan sebgai anggota masyarakat dan bangsa serta agama


2. Untuk menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap masalah-masalah dan kenyataan-kenyataan sosial yagn timbul di dalam masayrakat Indonesia


3. Memberikan pengetahuan dasar kepada mahasiswa agar mereka mampu berpikir secara interdisipliner, dan mampu memahami pikiran para ahli berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dengan demikian memudahkan mereka berkomunikasi

Prasangka dan Diskriminasi


Prasangka dan Diskriminasi
  1. Apakah prasangka itu?
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional . John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori :
  • Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
  • Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
  • Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
  1. Diskriminasi
iskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
3.      Kaitan prasangka dengan diskriminasi
4.      Prasangka merupakan faktor yang potensial menciptakan konflik antar etnik. Prasangka bahkan terbukti telah melahirkan konflik antar etnik yang paling merusak. Atas alasan demikian, prasangka dapat dikategorikan sebagai ancaman besar-berbahaya bagi terbentuknya suatu masyarakat multietnik yang sehat. Dalam rangka membentuk masyarakat plural (multietnik) yang sehat dan damai, rendahnya prasangka adalah prasyarat penting. Oleh karena itu upaya-upaya mengurangi prasangka di masyarakat sangatlah penting dan mendesak.

Upaya mengurangi prasangka bisa dilakukan dalam banyak cara. Beberapa upaya yang bisa dilakukan diantaranya melalui rekayasa dalam hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi. Kita tahu, prasangka dipengaruhi juga oleh sejarah, politik, ekonomi, dan struktur sosial (Brown, 1995), karenanya diperlukan pula adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

Prasangka muncul dalam kondisi rendahnya pemahaman lintas budaya di masyarakat. Sementara itu, pemahaman lintas budaya adalah sendi dari sebuah masyarakat multietnik yang sehat, dimana setiap orang sadar akan perbedaan dan menghargai perbedaan itu. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan dan sadar akan adanya perbedaan budaya, serta mampu menerima adanya perbedaan itu melalui kemampuan melihat fenomena dunia melalui sudut pandang budaya yang lain. Pada hakekatnya mengurangi prasangka sama artinya dengan menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan upaya-upaya mengurangi prasangka lainnya, bisa dilakukan di segenap aspek kehidupan, dimulai dari keluarga, lingkungan pertetanggaan, sekolah, organisasi, dan masyarakat secara lebih luas.

A. Upaya Mengurangi Prasangka

Berikut adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam mengurangi prasangka, yakni melalui hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi.

1. Melalui Hubungan Antar Kelompok

Menurut salah satu teori hubungan antar kelompok yakni ‘the contact hypothesis’, diasumsikan bahwa anggota kelompok yang berbeda bila melakukan interaksi satu sama lain akan mengurangi banyak prasangka antara mereka, dan menghasilkan sikap antar kelompok dan stereotip yang lebih positif (Manstead & Hewstone, 1995). Semakin banyak dan erat interaksi yang terjadi maka prasangka dan stereotip negatif akan semakin berkurang.

Dalam buku ‘Prejudice: It’s Social Psychology’, Brown (1995) menyebutkan bahwa interaksi yang membuat suatu hubungan bisa mengurangi prasangka setidaknya memenuhi empat prasyarat berikut :

 Dukungan sosial dan dukungan institusional.§

Adanya kerangka sosial dan dukungan institusional yang bisa mendorong kontak lebih erat antara etnik yang berlainan. Dukungan institusional ini diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang, dalam hal ini bisa pemerintah, sekolah, pemimpin organisasi, orangtua, dan lain-lain. Ada tiga alasan mengapa hal ini penting ;

1. Otoritas biasanya berada dalam posisi bisa memberi sanksi (dan rewards) untuk tindakan berparasangka.
2. Ada peraturan yang tegas tentang anti-diskriminasi, yang akan memaksa orang untuk berperilaku dalam perilaku yang tidak berprasangka. Hal mana diharapkan akan membuat seseorang menginternalisasi perilaku tidak berprasangka itu sebagai sikap mereka
3. Menciptakan lingkungan sosial yang penuh toleransi dimana nilai-nilai toleransi bisa dikembangkan.


 Ada potensi untuk saling mengenal§

“Orang Cina itu pelit, sombong, nggak mau bergaul, seringkali licik” ujar Vivi, seorang etnis Jawa berkomentar tentang etnik Cina “Kecuali Dewi dan Diana, mereka baik, tidak seperti orang Cina lainnya” tambahnya melanjutkan. Dewi dan Diana adalah dua orang teman dekat Vivi yang beretnis Cina.

Apa yang dikatakan Vivi merupakan tipikal yang umumnya dilakukan oleh orang-orang. Mereka memiliki stereotip negatif terhadap etnis lain tetapi menolak bila orang yang dikenalnya secara akrab, yang kebetulan berasal dari etnis bersangkutan memiliki stereotip-stereotip itu. Cerita itu menggambarkan bahwa stereotip negatif dan prasangka tumbuh karena ketiadaan pergaulan yang erat dan akrab antar pribadi diantara etnis yang berbeda.

Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok etnik yang berlainan bisa mengurangi prasangka secara signifikan. Hubungan itu mesti dalam waktu yang cukup, dengan frekuensi yang tinggi, dan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antara anggota kelompok etnik yang berkaitan. Apabila hubungan antar anggota kelompok etnik tidak memungkinkan terjalinnya hubungan akrab maka kurang bisa mengurangi prasangka antar etnik.

Ada tiga alasan mengapa potensi untuk saling mengenal penting guna mengurangi prasangka:

1. Membangun hubungan interpersonal yang fair dan dekat menimbulkan pikiran untuk menghargai orang lain secara positif, dan diharapkan digeneralisasikan ke keseluruhan kelompok.
2. Akan memungkinkan menerima info baru yang lebih akurat tentang kelompok lain yang menjadikan orang sadar bahwa kenyataannya ada banyak kesamaan antara kelompok yang bebeda. Menurut hipotesis similarity-attraction, kesamaan-kesamaan yang dipersepsi seseorang dengan orang lain dari kelompok lain akan meningkatkan kesukaan pada kelompok tersebut.
3. Seseorang akan menemukan bahwa stereotip negatif kelompok lain tidak benar. Hal mana akan mengubah pandangan seseorang terhadap kelompok lain.


 Status yang setara antara pihak-pihak yang berinteraksi§

Dalam masyarakat, organisasi, sekolah, atau yang lain, harus ada status yang setara antara pihak-pihak yang berprasangka sebelum terjadi interaksi. Jika satu kelompok etnik lebih dominan dibanding kelompok etnik lain, maka interaksi antar kelompok etnik belum tentu dapat mengurangi prasangka. Hal ini karena sudah ada presdiposisi sebelumnya bahwa kelompok etnik yang satu lebih tinggi dibandingkan kelompok etnik yang lain. Misalnya bila satu kelompok etnik selalu berada dalam posisi berkuasa dan selalu menjadi bos, sedangkan yang lain yang dikuasai maka hubungan antar kelompok kurang bisa mengurangi prasangka.

 Kerjasama§

Sebuah interaksi akan mengurangi prasangka jika interaksi yang terjadi berbentuk kerjasama bukannya konflik. Dalam kerjasama itu, juga harus terjadi ketergantungan. Mendasarkan pada teori realistic-group conflict theory, harus ada alasan instrumental untuk bekerjasama dan membangun persahabatan. Tujuan bersama biasanya harus konkret, skala kecil, dan bisa dilakukan bersama-sama. Contohnya pada saat banjir,semua orang bekerja sama untuk menanggulangi. Interaksi semacam ini bisa mengurangi prasangka.

Secara ringkas Cook dalam Brewer dan Miller (1996) menunjukkan enam syarat agar suatu kontak atau interaksi antar anggota kelompok etnik bisa mengurangi prasangka, yaitu:

1. Kelompok yang berinteraksi harus memiliki status sosial ekonomi yang setara.
2. Interaksi harus berbentuk kerjasama dan interdependensi.
3. Interaksi harus informal sehingga bisa mengenal secara pribadi.
4. Interaksi harus terjadi dalam situasi dimana norma-norma yang berlaku mendukung kesamaan kelompok.
5. Kelompok harus berinteraksi dalam suatu cara tertentu yang memungkinkan untuk membuktikan bahwa kepercayaan negatif (prasangka dan stereotip) terhadap kelompok lain adalah tidak benar.
6. Individu harus memandang satu sama lain sebagai tipikal dari kelompok masing-masing sehingga bisa menggeneralisasikan hal positif dari interaksi.

2. Melalui Sosialisasi

Upaya sosialisasi nilai-nilai egalitarian dan tidak berprasangka bisa dilakukan di rumah atau keluarga, di sekolah maupun dimasyarakat. Keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai yang mendorong anak-anak tidak berprasangka. Hanya memang, keluarga tidak menjadi satu-satunya faktor yang dominan. Bisa jadi keluarga yang telah mendorong sikap berprasangka tetap tidak berhasil membuat anak tidak berprasangka karena sekolah atau teman-teman sebayanya tidak mendukung upaya itu. Demikian juga sebaliknya, upaya sekolah untuk mengurangi prasangka mungkin tidak akan berhasil jika di rumah situasi keluarga tidak mendukung.

Sebuah keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam memberikan dasar-dasar bagi tumbuhnya kesadaran akan pluralitas. Ketika suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka. Sebagai misal, meskipun anak-anak etnis jawa tidak pernah bertemu dengan etnis Batak, tetapi bila sang orangtua terus menerus mengatakan pada anak-anak secara negatif tentang etnik Batak maka anak-anak juga akan mengembangkan perasaan negatif pada etnik Batak.

Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis jawa dengan kata-kata “dasar jawa”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik jawa secara keseluruhan.

Ada beberapa cara yang mungkin berguna dalam upaya mendidik anak-anak dalam keluarga agar memiliki pemahaman lintas budaya yang tinggi, yang pada gilirannya akan mengurangi prasangka, yaitu :

1. Berkata tidak pada komentar yang merendahkan etnis tertentu (Breitman & Hatch, 2001). Orangtua harus tegas menyatakan sikap tidak senang, kalau perlu disertai hukuman secara konsisten atas kata-kata rasis-diskriminatif-etnosentris yang diucapkan anak-anak. misalnya menegur anak-anak yang berkata-kata mengumpat teman lainnya dengan kata-kata menghina berdasarkan etnik, seperti “dasar orang sunda”,”dasar orang madura”, dan lain-lain.
2. Di rumah disediakan bacaan yang berpotensi menumbuhkan kesadaran akan pluralitas, misalnya dongeng-dongeng dari berbagai etnik dari seluruh nusantara.
3. Lebih mendorong dengan pujian jika anak berhasil menjalin hubungan perkawanan dengan anak dari etnik lain.
4. Tidak mentoleransi adanya perlakuan diskriminatif oleh anak-anak pada teman-temannya hanya karena didasarkan pada latar belakang etniknya.

Sekarang ini sekolah telah menjadi agen utama bagi sosialisasi nilai-nilai. Sekolah yang buruk bisa menumbuhkan prasangka dan sebaliknya melaui metode yang tepat sekolah juga merupakan sarana yang efektif dalam mengurangi prasangka. Brown (1995) memberikan dua saran untuk mengurangi prasangka melalui manajemen kelas belajar yang baik, yakni

1. Adanya perlakuan yang adil terhadap murid. Semua murid dari semua latar belakang etnik diperlakukan sama dan fair.
2. Kerjasama dalam kelompok belajar dibawah kondisi-kondisi tertentu, yakni: a) Belajar dalam satu kelompok yang saling tergantung satu sama lain, b) Aktivitas belajar bersama mereka mengharuskan mereka sering berinteraksi, c) Adanya status yang sama diantara seluruh anggota kelompok dan semua ikut berkontribusi dalam pencapaian tujuan kelompok, d) Belajar bersama dikelola dan diperintahkan oleh guru, sehingga pelajar merasa mendapat dukungan institusional.

Selain melalui manajemen kelas, hal yang tak kalah penting dalam mengurangi prasangka adalah kurikulum yang menunjang dan guru yang benar-benar memahami dan sadar akan perbedaan budaya, karena apa perkataan guru, dan cara guru mengajar sangat mempengaruhi kognitif dan afektif murid. Kurikulum pendidikan di Indonesia yang sentralistis telah mengabaikan keberagaman yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia dan berakibat siswa tercerabut dari praktek budaya dan kebutuhan riil ditempat tinggalnya (Jayadi, 2000). Padahal, loyalitas ingroup seseorang berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (Phinney, Ferguson, & Tate dalam Steinberg, 2002). Seseorang yang tercerabut dari akar budayanya justru biasanya malah bersikap negatif (juga berprasangka) terhadap kelompok lain.

Senada dengan Brown, Santrock (1999) mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan hubungan antara pelajar yang berbeda etnik, namun berbasis pada kurikulum, yaitu:

1. Memanajemen kelas dengan mengubah-ngubah pasangan kelompok tugas secara acak sehingga memungkinkan setiap murid bisa saling berinteraksi dengan semua murid dari etnis berbeda.
2. Mendorong pelajar untuk memiliki perpectives taking (kemampuan untuk memahami dan mengerti perspektif orang lain dan mengerti pikiran dan perasaannya).
3. Membantu pelajar untuk berpikir kritis dan memiliki kecerdasan emosional ketika menghadapi masalah-masalah kultural. Pelajar yang berpikir kritis dan mendalam mengenai hubungan antar etnik mungkin bisa mengurangi prasangka mereka. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional mampu mengerti sebab-sebab perasaan seseorang, mengelola kemarahan, mendengarkan apa yang dikatakan orang, memiliki motivasi untuk berbagi dan bekerja sama.
4. Mengurangi bias melalui pelajaran yang mendorong pemahaman lintas budaya.
5. Membentuk sekolah dan komunitas sebagai sebuah tim untuk mendukung pendidikan.
6. Menjadi mediator budaya yang kompeten.

Dunia pendidikan dalam masyarakat multietnik seperti Indonesia sudah semestinya menerapkan pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996). Penghayatan variasi etnik perlu dikenalkan sejak dini. Sayangnya seperti yang dikemukakan Jayadi, pendidikan kita kurang menfasilitasi pendidikan multikultur. Salah satu bentuk pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya adalah pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia. Dimensi-dimensi dalam ethnoscience adalah: 1) keterpaduan isi, yakni materi yang diajarkan merupakan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar, dan dikaitkan dengan pengajaran budaya 2) pembentukan pengetahuan, dan 3) pereduksian prasangka buruk (Lara-Alecio dkk., 2001).

Suyata (2002) dalam artikelnya yang berjudul ‘Pendidikan Multikultural’ menawarkan sebuah kerangka kerja pengembangan pendidikan multikultural dalam dimensi struktural sosial. Kerangka yang ditawarkan merupakan kerangka pendidikan multikultural yang bisa mendorong terjadinya perubahan struktur sosial. Diharapkan kerangka itu bisa menjadi patokan bagi setiap upaya pengembangan pendidikan multikultural yang jelas sangat penting artinya bagi masyarakat plural seperti indonesia. Kerangka kerja yang ditawarkan Suyata, yaitu:

1. Pengajaran terhadap mereka yang berbeda secara kultural dan eksepsional dengan titik berat pada pemberian kompensasi agar terjadi perubahan secara kultural.
2. Pentingnya hubungan-hubungan manusia, fokusnya adalah mendorong para siswa memiliki perasaan positif, mengurangi stereotip, mengembangkan konsep diri, toleransi dan menerima orang lain.
3. Aneka studi satu kelompok budaya sebagai upaya mendorong persamaan struktural sosial, dan advokasi pengakuan suatu kelompok etnik-kultural sebagai suatu yang berbeda.
4. Pendidikan multikultural sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok.
5. Pendidikan multikultural sekaligus rekontruksi sosial, plus menyiapkan setiap warga agar aktif mengusahakan persamaan struktur sosial.

Salah satu media sosialisasi nilai-nilai toleransi adalah media massa, baik berupa TV, radio, media cetak seperti buku, majalah, koran, buletin, internet dan lainnya. Sayangnya media kurang menfasilitasi pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan (Abrar, 2002). TV misalnya, memiliki potensi terbesar untuk mentransmisikan suatu keyakinan dari kelompok ke orang atau ke kelompok lain (Dewi, 2002), akan tetapi, acapkali materi siaran TV malah semakin meneguhkan prasangka. Misalnya stereotip orang jawa yang suka hutang dikuatkan dalam cerita Si Doel melalui tokoh Karyo, halmana bisa mengakibatkan prasangka pada orang jawa bila berbaik-baik pada orang lain, dikira mau berhutang. Tampaknya perlu kehati-hatian pihak media dalam setiap tayangannya agar tidak terjadi hal semacam itu. Sebab media yang baik adalah media yang mampu berperan dalam membentuk masyarakat yang sehat dan sejahtera. Dan dalam menjalankan fungsi yang demikian itu, media harus jeli terhadap kemungkinan prasangka dan diskriminasi.


3. Melalui Rekayasa Sosial

Prasangka etnik tidak hanya disebabkan oleh faktor psikologis semata, ia juga disebabkan oleh faktor sejarah, ekonomi, politik, budaya, dan struktur sosial (Brown, 1995). Karenanya diperlukan adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.

Dalam bidang sejarah perlu adanya pelurusan pencatatan sejarah, terutama yang terkait dengan hubungan etnis Cina dengan etnis lain. Selama ini prasangka terhadap etnis Cina salah satunya ditumbuhkan melalui cerita-cerita yang menganggap mereka tidak nasionalis karena menjadi ‘antek’ kolonial Belanda. Padahal jumlah perlawanan etnis Cina terhadap penjajah cukup besar, akan tetapi hal itu tidak pernah dimunculkan.

Isu-isu hubungan antar etnik diantaranya kebijakan terhadap kelompok minoritas, kebijakan imigrasi, dan hak-hak sipil perlu mendapat perhatian. Salah satu kebijakan politik yang masih mengganjal dalam hubungan antar etnik di Indonesia, dan berpotensi untuk tetap melestarikan prasangka adalah kebijakan agar setiap etnis Cina memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), meskipun seseorang itu merupakan generasi kelima di Indonesia. Umumnya etnik cina sendiri tidak puas dengan bentuk-bentuk pembedaan yang akan menghambat mereka melakukan identifikasi terhadap indonesia. SKBRI ini dirasakan sebagai hambatan terbesar (Suhendy, 1997). Alangkah baiknya jika persyaratan SBKRI dihapuskan, yang berarti ‘penerimaan’ negara secara politis terhadap etnis Cina.

Tidak dapat dipungkiri, pemberlakuan desentralisasi politik menguatkan semangat kedaerahan, dan etnosentrisme. Keadaan ini dapat menimbulkan dan memperkuat prasangka etnik. Toety Heraty menyatakan bahwa semangat penonjolan identitas etnik dalam era desentralisasi politik pasca orde baru perlu diberi ruang partisipasi dalam tatanan kebijakan publik (Kompas, 17 Februari 2003). Salah satu bentuk partisipasi itu adalah mempersilahkan kelompok etnik tertentu untuk mewujudkan keberadaannya melalui pembentukan partai politik.